Ojol Jadi “Anak Emas”, Kita Jangan Lupa Memperhatikan Yang Lain


Senang betul Pak De mendapat masker kain dan hand sanitizer pada Senin (13/04/2020) kemarin. Ia memang sedang membutuhkannya.

Pak De merupakan penjual sayur keliling di kompleks kami tinggal.

Bersama istrinya, setiap pagi mereka menuntun sepeda tua yang membawa keranjang-keranjang berisi berisi aneka sayuran, bumbu, dan kebutuhan pokok. Tidak terlalu banyak yang dibawa karena mereka sudah berusia lanjut.




Di tengah pandemi Covid-19, Pak De dan istrinya tetap berjualan keliling. Seperti tak ada yang berubah dari rutinitas harian mereka.

Baik sebelum dan maupun selama masa pandemi, saya selalu melihat mereka sudah tiba di kompleks kami sekitar pukul 06.00 pagi.

Pak De dan istrinya selalu berhenti di beberapa titik yang sama dan orang-orang sudah tahu di mana saja mereka bisa menemukan Pak De.

Kebetulan Pak De selalu berhenti di depan tempat tinggal kami. Jadilah setiap pagi antara pukul 06.30-07.00 sejumlah warga, terutama ibu-ibu berkerumun di depan pagar.

Selagi istrinya melayani pembeli, Pak De biasanya membantu menyirami tanaman-tanaman di depan rumah. Ia juga bersedia dimintai tolong untuk memindahkan pot-pot yang agar berat dari lantai satu ke lantai atas atau sebaliknya.

Begitulah yang hampir selalu saya saksikan tiap pagi tentang Pak De dan istrinya.

Besar arti keberadaan mereka di masa seperti sekarang. Ketika masyarakat diharuskan menjaga jarak dan menahan diri untuk tak terlalu sering meninggalkan rumah, orang-orang seperti Pak De dan istrinya merelakan diri menjadi perantara dan pengantar kebutuhan masyarakat.

Tentu saja bukan tanpa risiko karena penjual sayur keliling pastilah harus ke pasar terlebih dulu pada pagi buta. Di pasar mereka berhadapan dengan risiko yang tak tampak meski nyata adanya.



Mungkin sulit bagi mereka untuk menghindari kerumunan di pasar. Besar pula kemungkinan mereka berinteraksi dengan orang-orang yang kesehatannya sama-sama belum bisa dipastikan.

Hanya saja selama pandemi Covid-19 belum pernah saya melihat Pak De mengenakan masker. Padahal masker dibutuhkan dan diwajibkan untuk dikenakan oleh semua orang yang beraktivitas di luar rumah.

Hanya istrinya yang saya lihat menggunakan masker kain. Namun, setiap hari masker yang digunakannya terlihat sama dan sepertinya belum sempat diganti.



Tak jauh berbeda dengan Pak De dan istrinya, ada Bu Wiwin yang setiap hari berjualan terang bulan di sekitar kampus Universitas Gadjah Mada dan Universitas Negeri Yogyakarta.

Sampai Selasa (14/4/2020) wanita 51 tahun ini masih menempuh jalanan yang sama. Meski hampir sebulan kampus telah sangat sepi, Bu Wiwin masih berharap rezeki pada setiap ruas jalan yang dikitarinya.

Selasa pagi tadi sekitar pukul 09.00 ia sudah sampai di tempat biasa. Di bawah sebuah pohon ia sandarkan sepedanya. Udara pagi dihirupnya sambil berharap keberuntungan menghampiri.

Pulang atau tidak pulang kampung sama-sama tidak mudah baginya yang merantau dari Lumajang.

Ia tak bisa memilih kecuali tetap mengayuh sepedanya setiap pagi tanpa bisa memastikan berapa yang akan ia dapatkan seharian.

Begitupun Pak Bando yang setiap pukul 02.00 harus menembus gelap yang dingin dan lembab. Pada saat orang kebanyakan masih terlelap dan nyenyak di bawah selimut hangat, ia sudah menyisir jalanan.

Dicarinya barang-barang tak terpakai yang sekiranya masih berguna seperti kardus, botol, dan lain sebagainya. Sampah-sampah diangkutnya.

Berkat Pak Bando, ketika orang-orang bangun di pagi hari jalanan telah bersih. Tong-tong sampah di depan rumah telah kosong dan tak ada bau yang menyengat.

Tinggal di rumah selama pandemi memang baik bagi kesehatan. Namun, bagi orang-prang seperti Pak De, Bu Wiwin, dan Pak Bando, pandemi tampak tak memberi pilihan sama sekali.

Mereka tidak bisa memastikan bagaimana esok hari akan berlanjut jika harus tinggal di rumah. Nafkah mereka perlu dijemput setiap hari dan satu-satunya cara ialah dengan keluar rumah.

Wabah Covid-19 memang sangat berdampak pada banyak orang. Para sopir angkutan umum, kuli, buruh harian, pedagang-pedagang kecil, pemulung, pelayan rumah makan yang kena PHK, dan masih banyak lagi. Termasuk para pengemudi ojek online (ojol).



Ini bukan tentang siapa yang lebih pantas diperhatikan. Bukan pula kepada siapa kepedulian lebih utama ditujukan. Hari ini banyak kita saksikan aksi kepedulian dengan ojol sebagai titik tujunya.

Di media sosial terdengar gerakan traktir ojol, beri lebih, dan sebagainya. Lalu kita lihat Presiden Jokowi membagikan langsung paket sembako kepada ojol di jalanan.

Beberapa hari sebelumnya kantor Sekretariat Kepresidenan melakukan yang sama. Terbaru, demi ojol kita saksikan drama saling adu kebijakaan PSBB yang tidak konsisten antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan.

Memang benar pandemi memukul nasib ojol. Dan tidak salah bahwa wabah telah mengubah hari demi hari banyak orang. Oleh karena itu, sementara banyak pihak peduli pada ojol, kita jangan sampai lupa pada yang lain.

Mungkin perlu kita menengok ke samping yang terdekat. Barangkali ada tetangga yang sedang memerlukan masker.

Mungkin pula ada tukang sampah yang membutuhkan hand sanitizer dan pengamen yang perlu diberi lebih.

Sumber: kompasiana.com

Iklan Tengah Artikel 1

.